BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Berdasarkan unclos 1982 indonesia
merupakan Negara kepulauan .Indonesia memiliki laut yang luas yaitu lebih
kurang 5,6 juta km 2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan berbagai
potensi sumberdaya, terutama perikanan laut yang cukup besar.
Indonesia memiliki wilayah perairan laut
yang sangat luas dan kurang terjaga sehingga mudah mendatangkan ancaman
sengketa batas wilayah dengan negara tetangga. Untuk landas kontinen negara
Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat di laut sampai dengan
kedalaman 200 meter. Batas laut teritorial sejauh 12 mil dari garis dasar lurus
dan perbatasan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis dasar
laut.
Kekayaan sumberdaya laut tersebut
menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan
berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya. Kekayaan sumberdaya pesisir,
meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi
ekosistem pesisir tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun,
berikut sumberdaya hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya.
Kekayaan sumberdaya
pesisir dikuasai oleh Negara untuk dikelola sedemikian rupa guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa
mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya, sebagian besar
tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru
menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan dengan masyarakat
darat lainnya.
Hal tersebut tidak terlepas dari semakin meningkatnya
aktifitas pelayaran di wilayah perairan Indonesia, Khususnya di laut
territorial. peningkatan intensitas pelayaran, sebagian diantaranya kapal
barang dan penangkap ikan, tidak menutup kemungkinan terjadinya kecelakaan
laut. Selain itu Indonesia masih banyak mengalami sengketa perbatasan
dengan Negara tetangga .
Untuk itu diperlukan peraturan
yang baku mengenai hukum laut Indonesia kususnya dilaut territorial yang sering
dilalui oleh kapal asing dan banyak menimbulkan konflik yang berkepanjangan
dengan negara tetangga.kurang seriusnya pemerintah dalam meyelesaikan sengketa
perbatasan mengenai laut territorial telah banyak menyebabkan lepasnya wilayah
laut territorial dari pangkuan Negara ndonesia.selain itu kurangnya pengawasan
terhadap laut territorial diwilayah Indonesia telah banyak menyebabkan
hilangnya kekayaan alam yang terkandung didalamnya terutama potensi
perikanan yang banyak dicuri nelayan asing.
1.2 Tujuan
Ø memberikan pemahaman kepada masyarakat luas pada umumnya dan pada penulis
khususnya mengenai laut teritorial sehingga masyarakat dapat ikut
secara bersama sama menjaga kedaulatan indonesia.
Ø memberikan gambaran tentang laut territorial Indonesia baik
berdasarkan peraturan nasinal maupun peraturan internasional.
Ø Mengkaji dan menelaah
pelanggaran – pelanggaran hukum laut yang terjadi di Indonesia
Ø Memberikan pengetahuan
tentang kelembagaan laut dalam mengembangkan potensi sumber daya laut dan
kekayaan intelektual masyarakat Indonesia.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Ruang Lingkup
Untuk
saat ini pemahaman kita tentang hukum-hukum perairan sangat buruk. Banyak yang
brfikir bahwa mengetahui hukum-hukum laut hanya diwajibkan bagi para anggota
Angkatan Laut. Sedangkan pihak-pihak lain tidak peduli soal itu, bahkan ada
pihak yang bersikeras menerapkan asas hukum darat di laut yang tentu saja
bertentangan dengan hukum internasional.
Hal
inilah yang menandakan bahwa pembuat peraturan itu dan penganjur pembuat
peraturan tersebut tidak paham dengah hukum laut. Terjadi pula kasus yang mana
otoritas sipil memerintahkan Angkatan Laut mencegat kapal sipil yang
melaksanakan lintas alur laut kepulauan tanpa alasan yang kuat. Padahal dalam
hukum laut internasional sudah diatur bahwa kapal apapun yang melintas,
termasuk menggunakan rezim alur laut kepulauan, tidak boleh dicegat kecuali
dengan alasan tertentu yang harus kuat.
Meskipun hukum adalah produk politik, tidak berarti
ada alasan untuk bersikap standar ganda. Apalagi standar ganda tersebut bukan untuk
kepentingan nasional Indonesia, tetapi untuk menyenangkan hati negara lain.
Kalau mengambil sikap standar ganda atas nama kepentingan nasional, masih bisa
dipahami. Akan tetapi sulit dipahami apabila sikap itu ditempuh demi
menyenangkan hati pihak lain.
Selama ini, kegiatan ekonomi yang
berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral
yang didukung UU tertentu yang menguntungkan instansi sektor dan dunia usaha
terkait. Akibatnya, pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil cenderung
eksploitatif, tidak efisien, dan sustainable (berkelanjutan). Banyak
faktor-faktor yang menyebabkan ketidakefektifan pengelolaan sumberdaya pesisir
ini, antara lain ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya, ketidakpastian
hukum, serta konflik pengelolaan.
Wilayah daerah propinsi
terdiri dari wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut yang
diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan atau kearah perairan
kepulauan (Pasal 3 UU No.22/1999), dan kewenangan daerah di wilayah laut
meliputi; eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut
sebatas wilayah laut tersebut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan
tata ruang, penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat (Pasal 10 ayat 2 UU
No.22/1999).
Dengan
melihat beberapa pasal dari Undang-Undang No.22 tahun 1999, jelas bahwa
pengelolaan perairan laut yang melebihi 12 mil dari garis pantai, dimana
didalamnya termasuk Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) merupakan wewenang
pemerintah pusat.
2.2 Permasalahan
Banyaknya
kasus pelanggaran hukum di wilayah perbatasan negara Indonesia seperti kasus
imigran gelap, pengambilan Sumber Daya Alam secara ilegal dan penyelundupan,
antara lain akibat belum tuntasnya penetapan maupun penegasan batas Negara
Kesatuan RI dengan negara-negara tetangga.
Dengan banyaknya pelanggaran hukum laut yang terjadi di Indonesia,
menjadikan negara Indonesia perlu menegaskan adanya peraturan
perundang-undangan yang telah ditetapkan dan perlu dalam membentuk berbagai
macam lembaga – lembaga yang bernaung di bawah bendera kelautan dalam memajukan
potensi intelektual dan kekayaan sumber
daya laut yang ada di Indonesia sehingga dapat dicapai suatu misi agar negara
Indonesia memiliki kualitas sumber daya laut yang berpotensi dan dapat mencegah
terjadinya pelanggaran hukum – hukum laut yang telah diberlakukan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Hukum Laut Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan yang
terbentang dari sabang hingga merauke. Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan
hanya selebar 3 mil laut dari garis pantai (Coastal baseline) setiap pulau,
yaitu perairan yang mengelilingi Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia
Belanda (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939 dalam
Soewito et al 2000). Namun ketetapan batas tersebut, yang merupakan warisan
kolonial Belanda, tidak sesuai lagi untuk memenuhi kepentingan keselamatan dan
keamanan Negara Republik Indonesia. Atas pertimbangan tersebut, maka lahirlah
konsep Nusantara (Archipelago) yang dituangkan dalam Deklarasi Juanda pada
tanggal 13 Desember 1957.
Isi pokok dari deklarasi tersebut “Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia” (albahri,2012 : 1)
Isi pokok dari deklarasi tersebut “Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia” (albahri,2012 : 1)
Deklarasi Djuanda dikukuhkan pada
tanggal 18 Pebruari 1960 dalam Undang-Undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia. Ketetapan wilayah Republik Indonesia yang semula sekitar 2
juta km2 (daratan) berkembang menjadi sekitar 5,1 juta km2 (meliputi daratan
dan lautan). Dalam hal ini, ada penambahan luas sebesar sekitar 3,1 juta km2,
dengan laut teritorial sekitar 0,3 juta km2 dan perairan laut nusantara sekitar
2,8 juta km2. konsep Nusantara dituangkan dalam Wawasan Nusantara sebagai dasar
pokok pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara melalui ketetapan MPRS No. IV
tahun 1973.
Konvensi PBB tentang
Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime)
hukum laut yaitu :
1. Perairan Pedalaman (Internal waters),
2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters)
termasuki ke dalamnya selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional,
3. Laut Teritorial (Teritorial waters),
4. Zona tambahan ( Contingous waters),
5. Zona ekonomi
eksklusif (Exclusif economic zone),
6. Landas Kontinen
(Continental shelf),
7. Laut lepas (High
seas),
8. Kawasan dasar laut
internasional (International sea-bed area).
3.2 Persetujuan dengan Negara lain
Persetujuan
pemerintahan Indonesia dengan beberapa negara yang berbatasan tidak lepas
dengan hak dan kewajiban persetujuan yang telah dilakukan mengatur masalah
Landasan Kontinen dua negara atau lebih berbentuk peraturan perundangan
mempunyai konsekuensi untuk dilaksanakan, terjadinya pelanggaran perbatasan
berarti kemungkinan ketegangan akan timbul, oleh sebab itu disajikan
batas-batas wilayah sehingga garis batas Landas Kontinen antara :
1. Pemerintahan
Indonesia dengan pemerintahan Malaysia
Persetujuan
ke dua negara tersebut bagi pemerintahan Indonesia yang telah disahkan secara
konstitusionil diwujudkan dalam bentuk keputusan Presiden yaitu Keputusan
Presiden RI no 89 tahun 1969 menetapkan, mengesahkan persetujuan antara
pemerintah RI dengan pemerintah Indonesia tentang penetapan garis batas landas
kontinen antara ke dua negara yang di tanda tangani para delegasi masing-masing
di Kuala Lumpur pada tanggal 17 Agustus 1969.
2. Pemerintah
Indonesia dengan pemerintah Malaysia dan Kerajaan Thailand
Hasil
persetujuan delegasi-delegasi RI dengan Malaysia dan Kerajaan Thailand di tanda
tangani di Kuala Lumpur tanggal 21 Desember 1971 dan oleh pemerintah Indonesia
secara Konstitusional di tuangkan dalam bentuk Keputusan Presiden pada 11 Maret
1972, yaitu Keputusan Presiden no 20 tahun 1972 tentang pengesahan persetujuan
antara pemerintah RI, pemerintah Malaysia dan Kerajaan Thailand dalam penetapan
garis-garis batas Kontinen di bagian utara selat Malaka.
3. Pemerintah
RI dengan Pemerintah Thailand.
Hasil
persetujuan antara pemerintahan RI dengan pemerintahan kerjaan Thailand
membicarakan batas landas kontinen dua negara dibagian selat Malaka dan di laut
Andaman, untuk memisahkan bagian kedaulatan ke dua negara di bagian wilayah
Kontinennya dan di tanda tangani di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971 dan
oleh pemerintahan RI disahkan dalam bentuk keputusan Presiden yang ditetapkan
pada tanggal 11 Maret 1972, yaitu keputusan presiden no 21 tahun 1972.
4. Pemerintah
RI dengan pemerintah Filipina.
Sistem
yang dianut Filipina dalam penetapan batas landas kontinennya adalah sistem
yang sama dengan yang dianut oleh Indonesia yakni Middle Line atau Ekuedistant,
baik Indonesia maupun Filipina kedua nya adalah negara kepulauan. Pada bulan
Mei 1979 Filipina mengumumkan ZEE 200 milnya, dengan terjadinya penetapan batas
tersebut oleh masing-masing pihak dan diukur dari garis-garis pangkal darimana
diukur laut teritorial masing-masing yang mengelilingi kepulauannya, maka di
baigian selatan Filipina ( selatan Mindanau ) dan bagian utara Indonesia ( Laut
Sulawesi dan Sangir Talaud ).
5. Pemerintah
RI dan pemerintah Vietnam
Vietnam
telah mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairannya pada tanggal 12 Mie
1977 dan menetapkan UU Maritimnya pada bulan Januari 1980. Dalam UU tersebut
ditetapkan bahwa wilayah maritim Virtnam adalah sejauh 200 mil laut dengan
perincian 12 mil laut Teritorial, 2 mil wilayah menyangga dan selebihnya ZEE.
Menurut Guy Sacerdotti dalam tulisannya tahun 1980 menyebutkan bahwa pihak
Indonesia berpendirian bahwa tidak ada wilayah yang tumpang tindih dengan pihak
Vietnam.
6. Pemerintah
RI dengan pemerintah Papua Nugini
Kedua
negara sudah membicarakan sebelumnya pada bulan Mei 1978 yang menegaskan bahwa
perjanjian-perjanjian dahulu tetap mempunyai daya laku dan akan diadakan persetujuan
final mengenai penetapan ke dua negara, juga dalam pernyataan bersana tersebut
disebutkan bahwa tindakan-tndakan yang diambil oleh pihak Papua Nugini untuk
menetapkan Zona perikanan 200 mil serta kebijakannya dalam pergolakan
sumber-sumber daya hayati dalam zona tersebut diakui.
3.3 Undang-Undang yang Berlaku
Adapun
aturan hukum tentang wilayah laut (perairan) yang relevan dengan beberapa
ketentuan UUD 1945 :
1. Ketentuan-ketentuan
UUDS 1945 dan ketetapan MPR yang diimplementasikan :
1.1. Pembukaan UUD 1945 alenia IV
1.2. UUD 1945 pasal 1 ayat (1)
1.3. UUD 1945 pasal 30 ayat (1)
1.4. Ketetapan MPR no II / MPR / 1983
2. Peraturan
perundang-undangan tentang wilayah laut (perairan) yang mengimplementasikannya :
2.1. Undang-undang no 4 PRP tahun 1960
tentang perairan Indonesia (Wawasan
Nusantra)
2.2. Peraturan pemerintah no 8 tahun 1962
tentang lalu lintas laut damai kendaraan air asing dalam perairan Indonesia.
2.3. Keputusan Presiden RI no 16 tahun
1971, tentang pemberian izin berlayar bagi segala kegiatan kendaraan asing
dalam wilayah perairan Indonesia.
2.4. UU no 1 tahun 1973 tentang Landas
Kontinen Indonesia
2.5. UU no 5 tahun 1983, tentang Zona
Ekonomi Ekslkusif Indonesia
2.6. Peraturan Pemerintah no 15 tahun 1984
tentang pengolahan SDA hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
2.7. UU no 20 tahun 1982, tentang
ketentuan-ketentuan pokok pertahanan keamanan NKRI
3.4 Kelembagaan Laut di Indonesia
Pada 1962, terjadi
penggabungan Departemen Pertanian dan Departemen Agraria dan istilah direktorat
digunakan kembali. Pada masa kabinet presidensial paska dekrit, Direktorat
Perikanan telah mengalami perkembangan menjadi beberapa jawatan, yakni Jawatan
Perikanan Darat, Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Lembaga
Penelitian Perikanan Darat, Lembaga Pendidikan Usaha Perikanan dan BPU
Perikani. Baru pada tahun 1964 terbentuk Departemen Perikanan Darat/Laut,
tepatnya pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini Departemen Pertanian mengalami
dekonstruksi menjadi 5 buah departemen dan pada kabinet ini terbentuk
Departemen Perikanan Darat/Laut di bawah Kompartemen Pertanian dan Agraria.
Pembentukan Departemen Perikanan Darat/Laut merupakan respon pemerintah atas
hasil Musyawarah Nelayan I yang menghasilkan rekomendasi perlunya departemen
khusus yang menangani pemikiran dan pengurusan usaha meningkatkan pembangunan
perikanan.
1. DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan)
·
Tugas pokok
Melaksanakan urusan Pemerintahan yang
menjadi Kewenangan Daerah di bidang Kelautan dan Perikanan berdasarkan Asas
Otonomi dan Tugas Pembantuan.
·
Fungsi
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Nunukan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud diatas menyelenggarakan
fungsi:
§ Perumusan kebijakan teknis bidang kelautan dan perikanan sesuai dengan
rencana strategis yang ditetapkan Pemerintah Daerah.
§ Perencanaan, pembinaan dan pengendalian kebijakan teknis di bidang kelautan dan perikanan;
§ Perumusan, perencanaan, pembinaan dan pengendalian kebijakan teknis bidang
perikanan budidaya;
§ Perumusan, perencanaan, pembinaan dan pengendalian kebijakan teknis bidang
perikanan tangkap;
§ Perumusan, perencanaan, pembinaan dan pengendalian kebijakan teknis bidang
kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil;
§ Perumusan, perencanaan, pembinaan dan pengendalian kebijakan teknis bidang
pengawasan, perijinan, pengolahan, pemasaran dan kelembagaan;
2. Dephub (Departemen Perhubungan)
ü Tugas Pokok
Merumuskan
dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi di bidang perhubungan laut.
ü Fungsi
·Penyiapan
perumusan kebijakan Departemen Perhubungan di bidang lalu lintas dan angkutan
laut, pelabuhan dan pengerukan, perkapalan dan kepelautan, kenavigasian serta
penjagaan dan penyelamatan;
·Pelaksanaan
kebijakan di bidang lalu lintas dan angkutan laut, pelabuhan dan pengerukan,
perkapalan dan kepelautan, kenavigasian serta penjagaan dan penyelamatan;
·Perumusan
standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang perhubungan laut;
·Pemberian
bimbingan teknis dan evaluasi;
·Pelaksanaan
administrasi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
3.
Dephut
(Departemen kehutanan)
Departemen Kehutanan dan Perkebunan
mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas umum
pemerintahan dan pembangunan di bidang kehutanan dan perkebunan :
·
Penetapan kebijakan pelaksanaan,
kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,
·
Pengelolaan kekayaan negara, serta
perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang
·
Kehutanan dan perkebunan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
·
Pembinaan dan koordinasi pelaksanaan
tugas dan administrasi Departemen dalam arti
·
Perencanaan dan pendayagunaan sumber
daya, pengorganisasian, serta hubungan antar
·
Penelitian dan pengembangan proses dalam
pelaksanaan tugas serta standarisasi;
·
Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan
tertentu;
·
Pelaksanaan pengawasan fungsional.
4.
BAPPEDA
Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah sebagai unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan melaksanakan tugas
:
·
Perumusan kebijakan perencanaan daerah,
·
Koordinasi penyusunan rencana yang
memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan masing-masing satuan kerja perangkat daerah.
1. BAPEDAL
Badan mempunyai tugas pokok
membantu Walikota dalam melaksanakan pengendalian dampak lingkungan, koordinasi
dan pembinaan serta pelestarian lingkungan. Fungsinya sebagai berikut :
·
Pengendalian dampak lingkungan dalam arti
pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan
·
Pengawasan terhadap sumber dan
kegiatan-kegiatan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta pengawasan
pelaksanaan AMDAL
·
Pelaksanaan pelestarian dan pemulihan
kualitas lingkungan
2.
HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia)
ü Tugas
memantau aktivitas pengangkatan kapal dan selanjutnya akan
mengkaji dampak lingkungan yang ditimbulkan.
KESIMPULAN
Kesimpulan
yang dihasilkan dari pembahasan tentang hukum dan kelembagaan laut ini antara
lain:
1.
Undang –
undang yang berlaku di daerah, memberikan kebebasan dalam suatu daerah tersebut
untuk mengelola secara utuh karena diberikan
kewenangan penuh pada daerah untuk melaksanakan pembangunan daerahnya serta
pemanfaatan sumber dayanya terutama sumber daya kelautan.
2.
Oleh
karena itu Konvensi Hukum Laut 1982 perlu segera di wujudkan
pelaksanaannya kedalam wilayah perairan yang berada
dibawah yurisdiksi Indonesia. Hal ini dalam rangka menjaga kemungkinan yang
akan terjadi atas tindakan dari negara-negara lain yang berkepentingan dengan
penggunaan pelajaran Internasional, sebab masalah ini merupakan masalah yang
bersifat global. Dengan demikian, kita harus sedini mungkin mencari alat
sebagai bahan pelindung untuk untuk memberikan argumen yang bisa
diterima negara lain. Adapun alat yang dimaksud adalah kajian dari
aspek yuridisnya.
3.
Namun Dampak negatif dari
otonomi daerah adalah munculnya sikap fanatisme kedaerahan yang akan mengancam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
DAFTAR PUSTAKA
Djalal, Hasyim. 1979. Perjuangan
Indonesia di bidang Hukum Laut, Bina Cipta. Bandung.
Hidayat, Imam dan Mardiono. 1983. Geopolitik. Usaha Nasional. Surabaya
.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1976. Pengaturan Hukum
Penjagaan Keamanan di Laut dan di Pantai. Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas
Hukum Univesitas Padjajaran. Bandung.
Rahmat.2011.hukum laut.http://ibelboyz.wordpress.com/2011/06/04/makalah-hukum-laut-laut-teritorial/22/02/2013//.
R.I. (Republik Indonesia).
Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah. Tamita Utama. Jakarta.
United Nations Convention on the Law of the Sea. 1982. Diterjemahkan oleh
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
Casino in San Jose, CA - JT Hub
AntwoordVee uitThe Borgata Hotel 파주 출장마사지 & Casino is in 나주 출장마사지 the entertainment district and is 전라남도 출장안마 the second largest in the country, followed 순천 출장안마 by 익산 출장안마 Caesars Palace and Harrah's Las Vegas. The