Woensdag 27 Maart 2013

PIK- Hukum dan lembaga Laut Unsri 2013


BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
         Berdasarkan unclos 1982 indonesia merupakan Negara kepulauan .Indonesia memiliki laut yang luas yaitu lebih kurang 5,6 juta km 2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan berbagai potensi sumberdaya, terutama perikanan laut yang cukup besar.
       Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas dan kurang terjaga sehingga mudah mendatangkan ancaman sengketa batas wilayah dengan negara tetangga. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat di laut sampai dengan kedalaman 200 meter. Batas laut teritorial sejauh 12 mil dari garis dasar lurus dan perbatasan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis dasar laut.
         Kekayaan sumberdaya laut tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya. Kekayaan sumberdaya pesisir, meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi ekosistem pesisir tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumberdaya hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya.
Kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh Negara untuk dikelola sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat, memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya, sebagian besar tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan dengan masyarakat darat lainnya.
Hal tersebut tidak terlepas dari semakin meningkatnya aktifitas pelayaran di wilayah perairan Indonesia, Khususnya di laut territorial. peningkatan intensitas pelayaran, sebagian diantaranya kapal barang dan penangkap ikan, tidak menutup kemungkinan terjadinya kecelakaan laut. Selain itu Indonesia  masih banyak mengalami sengketa perbatasan dengan Negara tetangga .
Untuk itu diperlukan peraturan yang baku mengenai hukum laut Indonesia kususnya dilaut territorial yang sering dilalui oleh kapal asing dan banyak menimbulkan konflik yang berkepanjangan dengan negara tetangga.kurang seriusnya pemerintah dalam meyelesaikan sengketa perbatasan mengenai laut territorial telah banyak menyebabkan lepasnya wilayah laut territorial dari pangkuan Negara ndonesia.selain itu kurangnya pengawasan terhadap laut territorial diwilayah Indonesia telah banyak menyebabkan hilangnya kekayaan alam yang terkandung didalamnya terutama  potensi perikanan yang banyak dicuri nelayan asing.

1.2     Tujuan
Ø  memberikan pemahaman kepada masyarakat luas pada umumnya dan pada penulis khususnya  mengenai laut  teritorial sehingga masyarakat dapat ikut secara bersama sama menjaga kedaulatan indonesia.
Ø  memberikan gambaran tentang laut territorial Indonesia  baik berdasarkan peraturan  nasinal maupun peraturan internasional.
Ø  Mengkaji dan menelaah pelanggaran – pelanggaran hukum laut yang terjadi di Indonesia
Ø  Memberikan pengetahuan tentang kelembagaan laut dalam mengembangkan potensi sumber daya laut dan kekayaan intelektual masyarakat Indonesia.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Ruang Lingkup
Untuk saat ini pemahaman kita tentang hukum-hukum perairan sangat buruk. Banyak yang brfikir bahwa mengetahui hukum-hukum laut hanya diwajibkan bagi para anggota Angkatan Laut. Sedangkan pihak-pihak lain tidak peduli soal itu, bahkan ada pihak yang bersikeras menerapkan asas hukum darat di laut yang tentu saja bertentangan dengan hukum internasional.
Hal inilah yang menandakan bahwa pembuat peraturan itu dan penganjur pembuat peraturan tersebut tidak paham dengah hukum laut. Terjadi pula kasus yang mana otoritas sipil memerintahkan Angkatan Laut mencegat kapal sipil yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan tanpa alasan yang kuat. Padahal dalam hukum laut internasional sudah diatur bahwa kapal apapun yang melintas, termasuk menggunakan rezim alur laut kepulauan, tidak boleh dicegat kecuali dengan alasan tertentu yang harus kuat.
Meskipun hukum adalah produk politik, tidak berarti ada alasan untuk bersikap standar ganda. Apalagi standar ganda tersebut bukan untuk kepentingan nasional Indonesia, tetapi untuk menyenangkan hati negara lain. Kalau mengambil sikap standar ganda atas nama kepentingan nasional, masih bisa dipahami. Akan tetapi sulit dipahami apabila sikap itu ditempuh demi menyenangkan hati pihak lain.
Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang didukung UU tertentu yang menguntungkan instansi sektor dan dunia usaha terkait.  Akibatnya, pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil cenderung eksploitatif, tidak efisien, dan sustainable (berkelanjutan).  Banyak faktor-faktor yang menyebabkan ketidakefektifan pengelolaan sumberdaya pesisir ini, antara lain ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya, ketidakpastian hukum, serta konflik pengelolaan.
Wilayah daerah propinsi terdiri dari wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan (Pasal 3 UU No.22/1999), dan kewenangan daerah di wilayah laut meliputi; eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat (Pasal 10 ayat 2 UU No.22/1999).
Dengan melihat beberapa pasal dari Undang-Undang No.22 tahun 1999, jelas bahwa pengelolaan perairan laut yang melebihi 12 mil dari garis pantai, dimana didalamnya termasuk Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) merupakan wewenang pemerintah pusat.

2.2    Permasalahan
Banyaknya kasus pelanggaran hukum di wilayah perbatasan negara Indonesia seperti kasus imigran gelap, pengambilan Sumber Daya Alam secara ilegal dan penyelundupan, antara lain akibat belum tuntasnya penetapan maupun penegasan batas Negara Kesatuan RI dengan negara-negara tetangga.  Dengan banyaknya pelanggaran hukum laut yang terjadi di Indonesia, menjadikan negara Indonesia perlu menegaskan adanya peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan dan perlu dalam membentuk berbagai macam lembaga – lembaga yang bernaung di bawah bendera kelautan dalam memajukan potensi intelektual dan kekayaan  sumber daya laut yang ada di Indonesia sehingga dapat dicapai suatu misi agar negara Indonesia memiliki kualitas sumber daya laut yang berpotensi dan dapat mencegah terjadinya pelanggaran hukum – hukum laut yang telah diberlakukan.







BAB III
PEMBAHASAN
3.1    Sejarah Hukum Laut Indonesia
        Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari sabang hingga merauke. Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3 mil laut dari garis pantai (Coastal baseline) setiap pulau, yaitu perairan yang mengelilingi Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939 dalam Soewito et al 2000). Namun ketetapan batas tersebut, yang merupakan warisan kolonial Belanda, tidak sesuai lagi untuk memenuhi kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia. Atas pertimbangan tersebut, maka lahirlah konsep Nusantara (Archipelago) yang dituangkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957.
        Isi pokok dari deklarasi tersebut “Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia” (albahri,2012 : 1)
        Deklarasi Djuanda dikukuhkan pada tanggal 18 Pebruari 1960 dalam Undang-Undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Ketetapan wilayah Republik Indonesia yang semula sekitar 2 juta km2 (daratan) berkembang menjadi sekitar 5,1 juta km2 (meliputi daratan dan lautan). Dalam hal ini, ada penambahan luas sebesar sekitar 3,1 juta km2, dengan laut teritorial sekitar 0,3 juta km2 dan perairan laut nusantara sekitar 2,8 juta km2. konsep Nusantara dituangkan dalam Wawasan Nusantara sebagai dasar pokok pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara melalui ketetapan MPRS No. IV tahun 1973.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu :
 1. Perairan Pedalaman (Internal waters),
 2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuki ke dalamnya selat  yang digunakan untuk pelayaran internasional,
 3. Laut Teritorial (Teritorial waters),
 4. Zona tambahan ( Contingous waters),
5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone),
6. Landas Kontinen (Continental shelf),
7. Laut lepas (High seas),
8. Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).


3.2  Persetujuan dengan Negara lain
        Persetujuan pemerintahan Indonesia dengan beberapa negara yang berbatasan tidak lepas dengan hak dan kewajiban persetujuan yang telah dilakukan mengatur masalah Landasan Kontinen dua negara atau lebih berbentuk peraturan perundangan mempunyai konsekuensi untuk dilaksanakan, terjadinya pelanggaran perbatasan berarti kemungkinan ketegangan akan timbul, oleh sebab itu disajikan batas-batas wilayah sehingga garis batas Landas Kontinen antara :

1.      Pemerintahan Indonesia dengan pemerintahan Malaysia
         Persetujuan ke dua negara tersebut bagi pemerintahan Indonesia yang telah disahkan secara konstitusionil diwujudkan dalam bentuk keputusan Presiden yaitu Keputusan Presiden RI no 89 tahun 1969 menetapkan, mengesahkan persetujuan antara pemerintah RI dengan pemerintah Indonesia tentang penetapan garis batas landas kontinen antara ke dua negara yang di tanda tangani para delegasi masing-masing di Kuala Lumpur pada tanggal 17 Agustus 1969.

2.      Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Malaysia dan Kerajaan Thailand
         Hasil persetujuan delegasi-delegasi RI dengan Malaysia dan Kerajaan Thailand di tanda tangani di Kuala Lumpur tanggal 21 Desember 1971 dan oleh pemerintah Indonesia secara Konstitusional di tuangkan dalam bentuk Keputusan Presiden pada 11 Maret 1972, yaitu Keputusan Presiden no 20 tahun 1972 tentang pengesahan persetujuan antara pemerintah RI, pemerintah Malaysia dan Kerajaan Thailand dalam penetapan garis-garis batas Kontinen di bagian utara selat Malaka. 

3.      Pemerintah RI dengan Pemerintah Thailand.  
         Hasil persetujuan antara pemerintahan  RI dengan pemerintahan kerjaan Thailand membicarakan batas landas kontinen dua negara dibagian selat Malaka dan di laut Andaman, untuk memisahkan bagian kedaulatan ke dua negara di bagian wilayah Kontinennya dan di tanda tangani di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971 dan oleh pemerintahan RI disahkan dalam bentuk keputusan Presiden yang ditetapkan pada tanggal 11 Maret 1972, yaitu keputusan presiden no 21 tahun 1972.

4.      Pemerintah RI dengan pemerintah Filipina.
         Sistem yang dianut Filipina dalam penetapan batas landas kontinennya adalah sistem yang sama dengan yang dianut oleh Indonesia yakni Middle Line atau Ekuedistant, baik Indonesia maupun Filipina kedua nya adalah negara kepulauan. Pada bulan Mei 1979 Filipina mengumumkan ZEE 200 milnya, dengan terjadinya penetapan batas tersebut oleh masing-masing pihak dan diukur dari garis-garis pangkal darimana diukur laut teritorial masing-masing yang mengelilingi kepulauannya, maka di baigian selatan Filipina ( selatan Mindanau ) dan bagian utara Indonesia ( Laut Sulawesi dan Sangir Talaud ).

5.     Pemerintah RI dan pemerintah Vietnam
        Vietnam telah mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairannya pada tanggal 12 Mie 1977 dan menetapkan UU Maritimnya pada bulan Januari 1980. Dalam UU tersebut ditetapkan bahwa wilayah maritim Virtnam adalah sejauh 200 mil laut dengan perincian 12 mil laut Teritorial, 2 mil wilayah menyangga dan selebihnya ZEE. Menurut Guy Sacerdotti dalam tulisannya tahun 1980 menyebutkan bahwa pihak Indonesia berpendirian bahwa tidak ada wilayah yang tumpang tindih dengan pihak Vietnam.
6.     Pemerintah RI dengan pemerintah Papua Nugini
        Kedua negara sudah membicarakan sebelumnya pada bulan Mei 1978 yang menegaskan bahwa perjanjian-perjanjian dahulu tetap mempunyai daya laku dan akan diadakan persetujuan final mengenai penetapan ke dua negara, juga dalam pernyataan bersana tersebut disebutkan bahwa tindakan-tndakan yang diambil oleh pihak Papua Nugini untuk menetapkan Zona perikanan 200 mil serta kebijakannya dalam pergolakan sumber-sumber daya hayati dalam zona tersebut diakui.


3.3    Undang-Undang yang Berlaku
       Adapun aturan hukum tentang wilayah laut (perairan) yang relevan dengan beberapa ketentuan UUD 1945 :
1.    Ketentuan-ketentuan UUDS 1945 dan ketetapan MPR yang diimplementasikan :
1.1. Pembukaan UUD 1945 alenia IV
1.2. UUD 1945 pasal 1 ayat (1)
1.3. UUD 1945 pasal 30 ayat (1)
1.4. Ketetapan MPR no II / MPR / 1983

2.   Peraturan perundang-undangan tentang wilayah laut (perairan) yang     mengimplementasikannya :
2.1. Undang-undang no 4 PRP tahun 1960 tentang perairan   Indonesia  (Wawasan Nusantra)
2.2. Peraturan pemerintah no 8 tahun 1962 tentang lalu lintas laut damai kendaraan air asing dalam perairan Indonesia.
2.3. Keputusan Presiden RI no 16 tahun 1971, tentang pemberian izin berlayar bagi segala kegiatan kendaraan asing dalam wilayah perairan Indonesia.
2.4. UU no 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia
2.5. UU no 5 tahun 1983, tentang Zona Ekonomi Ekslkusif Indonesia
2.6. Peraturan Pemerintah no 15 tahun 1984 tentang pengolahan SDA hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
2.7. UU no 20 tahun 1982, tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan keamanan NKRI


3.4     Kelembagaan Laut di Indonesia
         Pada 1962, terjadi penggabungan Departemen Pertanian dan Departemen Agraria dan istilah direktorat digunakan kembali. Pada masa kabinet presidensial paska dekrit, Direktorat Perikanan telah mengalami perkembangan menjadi beberapa jawatan, yakni Jawatan Perikanan Darat, Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Darat, Lembaga Pendidikan Usaha Perikanan dan BPU Perikani. Baru pada tahun 1964 terbentuk Departemen Perikanan Darat/Laut, tepatnya pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini Departemen Pertanian mengalami dekonstruksi menjadi 5 buah departemen dan pada kabinet ini terbentuk Departemen Perikanan Darat/Laut di bawah Kompartemen Pertanian dan Agraria. Pembentukan Departemen Perikanan Darat/Laut merupakan respon pemerintah atas hasil Musyawarah Nelayan I yang menghasilkan rekomendasi perlunya departemen khusus yang menangani pemikiran dan pengurusan usaha meningkatkan pembangunan perikanan.
1.      DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan)
·         Tugas pokok
      Melaksanakan urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Daerah di bidang Kelautan dan Perikanan berdasarkan Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan.

·         Fungsi

      Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nunukan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud diatas menyelenggarakan fungsi:
§  Perumusan kebijakan teknis bidang kelautan dan perikanan sesuai dengan rencana strategis yang ditetapkan Pemerintah Daerah.
§  Perencanaan, pembinaan dan pengendalian kebijakan teknis di bidang    kelautan dan perikanan;
§  Perumusan, perencanaan, pembinaan dan pengendalian kebijakan teknis bidang perikanan budidaya;
§   Perumusan, perencanaan, pembinaan dan pengendalian kebijakan teknis bidang perikanan tangkap;
§   Perumusan, perencanaan, pembinaan dan pengendalian kebijakan teknis bidang kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil;
§   Perumusan, perencanaan, pembinaan dan pengendalian kebijakan teknis bidang pengawasan, perijinan, pengolahan, pemasaran dan kelembagaan;

2.      Dephub (Departemen Perhubungan)
ü  Tugas Pokok
Merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi di bidang perhubungan laut.
       
ü  Fungsi
·Penyiapan perumusan kebijakan Departemen Perhubungan di bidang lalu lintas dan angkutan laut, pelabuhan dan pengerukan, perkapalan dan kepelautan, kenavigasian serta penjagaan dan penyelamatan;
·Pelaksanaan kebijakan di bidang lalu lintas dan angkutan laut, pelabuhan dan pengerukan, perkapalan dan kepelautan, kenavigasian serta penjagaan dan penyelamatan;
·Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang perhubungan laut;
·Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi;
·Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

3.      Dephut (Departemen kehutanan)

      Departemen Kehutanan dan Perkebunan mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang kehutanan dan perkebunan :

                    ·          Penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,
                    ·          Pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang
                    ·          Kehutanan dan perkebunan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
                    ·          Pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti
                    ·          Perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar
                    ·          Penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standarisasi;
                    ·          Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tertentu;
                    ·          Pelaksanaan pengawasan fungsional.
               


4.      BAPPEDA
    Badan Perencanaan Pembangunan Daerah sebagai unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan melaksanakan tugas :
                ·          Perumusan kebijakan perencanaan daerah,
                ·          Koordinasi penyusunan rencana yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan masing-masing satuan kerja perangkat daerah.

1.      BAPEDAL
     Badan mempunyai tugas pokok membantu Walikota dalam melaksanakan pengendalian dampak lingkungan, koordinasi dan pembinaan serta pelestarian lingkungan. Fungsinya sebagai berikut :

                ·              Pengendalian dampak lingkungan dalam arti pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan
                ·              Pengawasan terhadap sumber dan kegiatan-kegiatan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta pengawasan pelaksanaan AMDAL
                ·              Pelaksanaan pelestarian dan pemulihan kualitas lingkungan

2.           HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia)
ü  Tugas
    memantau aktivitas pengangkatan kapal  dan selanjutnya akan mengkaji dampak lingkungan yang ditimbulkan. 























KESIMPULAN

Kesimpulan yang dihasilkan dari pembahasan tentang hukum dan kelembagaan laut ini antara lain:
1.             Undang – undang yang berlaku di daerah, memberikan kebebasan dalam suatu daerah tersebut untuk mengelola secara utuh karena diberikan kewenangan penuh pada daerah untuk melaksanakan pembangunan daerahnya serta pemanfaatan sumber dayanya terutama sumber daya kelautan.
2.             Oleh karena itu Konvensi Hukum Laut 1982 perlu segera di wujudkan  pelaksanaannya kedalam wilayah  perairan    yang berada dibawah yurisdiksi Indonesia. Hal ini dalam rangka menjaga kemungkinan yang akan terjadi atas tindakan dari negara-negara lain yang berkepentingan dengan penggunaan pelajaran Internasional, sebab masalah ini merupakan masalah yang bersifat global. Dengan demikian, kita harus sedini mungkin mencari alat sebagai bahan pelindung untuk untuk memberikan  argumen  yang bisa diterima  negara lain. Adapun alat yang dimaksud  adalah kajian dari aspek yuridisnya.
3.             Namun Dampak negatif dari otonomi daerah adalah munculnya sikap fanatisme kedaerahan yang akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).










DAFTAR PUSTAKA

Djalal, Hasyim. 1979. Perjuangan Indonesia di bidang Hukum Laut, Bina Cipta. Bandung.

Hidayat, Imam dan Mardiono. 1983. Geopolitik. Usaha Nasional. Surabaya
.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1976. Pengaturan Hukum Penjagaan Keamanan di Laut  dan di Pantai. Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Univesitas Padjajaran. Bandung.

Rahmat.2011.hukum laut.http://ibelboyz.wordpress.com/2011/06/04/makalah-hukum-laut-laut-teritorial/22/02/2013//.
R.I. (Republik Indonesia). Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Tamita Utama. Jakarta.
           United Nations Convention on the Law of the Sea. 1982. Diterjemahkan oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.



1 opmerking:

  1. Casino in San Jose, CA - JT Hub
    The Borgata Hotel 파주 출장마사지 & Casino is in 나주 출장마사지 the entertainment district and is 전라남도 출장안마 the second largest in the country, followed 순천 출장안마 by 익산 출장안마 Caesars Palace and Harrah's Las Vegas. The

    AntwoordVee uit